Lemah Tegakkan Hukum, Akan Perparah Konflik Lahan Akibat Tambang
Kegagalan
pemerintah menertibkan perizinan yang diberikan kepada para pebisnis
tambang dan perkebunan, akan membawa bencana sosial dan ekologis yang
akan makin meluas di berbagai wilayah tanah air. Hingga saat ini, akibat
kegagalan pemerintah memaksa perusahaan tersebut untuk mematuhi
prosedur perizinan lokasi, dari catatan sejak bulan Januari hingga Juni
2012 saja, konflik lahan mencapai 377.159 hektare dengan melibatkan
sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia.
Dari laporan Bisnis.com,
Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan
Nurdin mengatakan konflik lahan hingga pertengahan tahun saja mencapai
377.159 hektare dengan 101 kasus. Dibandingkan akhir 2011, KPA mencatat
jumlah konflik lahan mencapai 472.084 hektare dengan 163 kasus.
“Sektor
perkebunan, pertambangan dan hutan masih mendominasi konflik lahan.
Pertengahan tahun saja sudah mencapai 300 ribu hektare lebih,” ujar Iwan
dalam diskusi ‘Konflik Agraria dan Hutang Reformasi Agraria BPN’ di
Jakarta, Jumat 22 Juni silam. “Ini terjadi di pelosok desa hingga kota.
Yang diperlukan adalah penyelesaian yang cepat, namun tidak mungkin
dilakukan oleh BPN sekarang.”
Terkait lemahnya penegakan hukum
ini, pemerintah diminta menuntaskan proses penertiban izin tumpang
tindih lahan pertambangan. Berdasar laporan beritasatu.com, Kementerian ESDM mencatat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang belum dinyatakan clean and clear, sedangkan 4.626 izin sudah dinyatakan clean and clear atau tidak bermasalah.
Dari
total 5.940 IUP yang belum clean and clear, sebanyak 3.988 IUP untuk
komoditas mineral dan 1.952 IUP untuk komoditas batubara.
Sedangkan dari total 4.626 IUP yang clean and clear, sebanyak 2.784 IUP tambang mineral dan 1.842 sisanya merupakan IUP batubara.
Kebanyakan
IUP mengalami tumpang tindih lahan, meliputi lahan beda komoditas,
tumpang tindih lahan sesama komoditas, hingga tumpang tindih karena
kewenangan. Biasanya tumpang tindih lahan terjadi karena garis batas
antar wilayah kabupaten yang tidak jelas.
Perbedaan garis batas
sering muncul setelah adanya otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Ada
juga beberapa wilayah tambang yang berada di lokasi hutan konservasi.
Masalah
lainnya, menurut Iwan Nurdin, adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN)
yang kini dipimpin Hendarman Supandji, bekas Jaksa Agung, yang dinilai
tidak akan dapat menyelesaikan konflik lahan secara cepat. Dia
mengkhawatirkan pendekatan yang dipakai Hendarman adalah pendekatan
formal sehingga masyarakat yang tak memiliki legalitas lahan akan selalu
dikalahkan.
“Perusahaan selalu tidak memiliki masalah legal
formal, dibandingkan dengan masyarakat yang tak memiliki sertifikat
dalam kepemilikan lahan. Ada sekitar 22.000 desa yang berada di dalam
kawasan hutan yang tak memiliki sertifikat,” demikian Iwan.
Pada
akhir 2011, KPA mencatat sedikitnya konflik lahan terjadi di area seluas
472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang
2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas adalah perkebunan (97 kasus),
kehutanan (36 kasus), infrastruktur (21 kasus), pertambangan (delapan
kasus), dan pertambakan (satu kasus). Total kasus mencapai 163, naik
dibandingkan dengan periode 2010 yang hanya 106 kasus.
Angka ini
nampaknya masih akan terus meningkat, mengingat hingga tengah tahun ini
saja konflik lahan sudah mencapai 377.000 kasus lebih.
Direktur
Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala
mengakui, saat ini memang banyak izin tambang batubara yang masih
tumpang tindih. Masalah tersebut terjadi karena penentuan batas wilayah
yang masih manual, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan menjadi lebih
besar.
“Akibatnya, kegiatan produksi juga tidak bisa dilaksanakan. Ini merupakan kerugian buat negara,” kata dia.
Dia
melihat, masalah tumpang tindih lahan tambang harus diselesaikan di
pemerintah daerah. Pasalnya, masalah tumpang tindih ini harus diurut
hingga ke awal siapa yang sebenarnya paling berhak memiliki wilayah
tambang yang dimaksud.
“Maka memang harus dikembalikan ke daerah untuk itu,” ujar Supriatna kepada beritasatu.com, Senin 13 Agustus 2012 silam.
Sementara
itu, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini mengatakan, permasalahan
tumpang tindih lahan sebaiknya diselesaikan di tingkat pemerintah
daerah. Pasalnya, pemerintah daerahlah yang paham betul terkait batas
wilayah dan kewenangan.
“Nanti gubernur akan diminta selesaikan
masalah tumpang tindih ini dengan mengumpulkan para bupati di bawahnya,”
kata dia ketika dihubungi Investor Daily.
Namun,
menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pemerintah lokal, juga bukan
sebuah solusi terbaik. Mengingat pertimbangan perekonomian, masih
menjadi alasan bagi daerah untuk mempertahankan bisnis pertambangan dan
perkebunan. Contoh nyata, adalah Provinsi Kalimantan Timur, yang masih
mengandalkan bisnis pertambangan sebagai salah satu sumber pendapatan
mereka.
Gubernur
Kalimantan Timur, Awang Faroek menjelaskan, di Kaltim, kegiatan
pertambangan terdiri dari 33 izin kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat serta
1.386 perusahaan yang mengantongi surat Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dari kepala daerah yang dahulu bernama Kuasa Pertambangan (KP).
“Seluruhnya berjumlah 1.419 izin kegiatan pertambangan di Kaltim,” ujar
Awang kepada detik.com bulan Mei silam.
Meski begitu,
Awang mengaku telah mengusulkan kepada Kementerian Energi Sumber Daya
Alam, agar pemerintah mengeluarkan kebijakan membatasi target produksi
batu bara dari 220 juta menjadi 150 juta ton.
Menurut dia, Kaltim
ingin tetap menjaga daya dukung lingkungan di daerah, yang setiap hari
kian mengkhawatirkan. Selain itu, juga untuk menambah usia potensi
pertambangan batubara di Kaltim. “Saya sudah sampaikan usulan pembatasan
produksi itu kepada Menteri ESDM. Saya yakin, usulan kita terkait
pembatasan akan diperhatikan,” sebut Awang optimistis.
“Saya sudah
menghitung, daya dukung lingkungan dengan target produksi batubara
tahun 2012 ini 220 juta ton, sebanyak 2,6 miliar meter kubik tanah yang
di dikeruk,” tambahnya.
Dari pantauan udara yang dilakukan tim
teknis lintas instansi di lingkungan Pemprov Kaltim pertengahan Mei 2012
silam, terdapat sekitar 110 lubang galian tambang batubara yang
menganga. Awang menyorot kota Samarinda, sebagai Ibu Kota Provinsi
Kaltim yang semakin rusak kualitas lingkungannya akibat kegiatan
pertambangan batubara.
Menurut catatan Greeenpeace tahun 2010, di
Provinsi Kalimantan Selatan dan Timur, terdapat 400.000 hektar hutan
yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi
batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha
di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara tersebut.
Total
tutupan hutan yang berada dalam konsesi pertambangan di kedua propinsi
ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total wilayah hutan Indonesia
pada tahun 2005.
Kegagalan menertibkan izin uzaha pertambangan,
terbukti tidak hanya mengupas hutan tropis Indonesia dan merusak habitat
berbagai spesies terancam di tanah air, namun juga membuka luka baru
konflik sosial antara warga masyarakat dan perusahaan, yang selalu
dimenangkan pihak perusahaan.
Sumber : google.com
0 komentar:
Posting Komentar