Pengelolaan
Tambang Batubara Berkelanjutan
Pertambangan
batubara di Indonesia telah berlangsung selama 40 tahun lebih, sejak keluarnya
UU No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan yang kemudian diganti
dengan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara Tahun 2009. UU ini telah menjadi
landasan eksploitasi sumberdaya mineral dan batu bara secara besar-besaran
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Industri batubara Indonesia telah
berkembang dengan pesat dalam waktu singkat. Dalam hanya 10 tahun produksi
telah berkembang dari sekitar 3 juta ton menjadi lebih dari 50 juta ton, dan
diharapkan dua kali lipat lagi dalam beberapa tahun mendatang. Sebagai akibatnya
industri batubara menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar bagi
Indonesia seperti: lapangan kerja bagi ribuan masyarakat Indonesia terutama di
daerah yang kurang berkembang di daerah seperti Kalimantan dan Sumatera dan
juga akan mendukung program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan . Namun
kegiatan tersebut tidak hanya menguntungkan dari segi sosial dan ekonomi tapi
juga memberikan dampak negatif, terutama kerusakan lingkungan di daerah
penghasil tambang.
Di daerah
penghasil barang tambang, lingkungan yang sehat dan bersih yang merupakan hak
asasi setiap orang menjadi barang langka. Bahkan daerah penghasil juga
merasakan ketidakadilan seperti kebutuhan energi akan listrik dari batubara
masih kurang pasokannya. Sementara batu bara dikirim ke daerah lain untuk
memenuhi kebutuhan energi terutama untuk pembangkit listrik tenaga uap di Jawa.
Disamping itu negara Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan
mendapatkan devisa sebesar-besarnya dari bahan tambang dan migas maka tidak ada
jalan lain, eksploitasi besar-besaran terutama barang tambang batubara pada
beberapa tahun ini semakin gencar. Hal ini membuat kondisi lingkungan di daerah
penghasil batubara semakin menurun bahkan makin kritis.
Salah satu
daerah penghasil batubara adalah kota Samarinda. Kota Samarinda yang terletak
di daerah katulistiwa. Dengan kondisi topografi yang datar dan berbukit antara
10-200 meter diatas permukaan laut. Dengan luas wilayah 718 KM². Kota
Samarinda berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara disebelah barat, timur,
selatan dan utara yang merupakan penghasil batubara terbesar kedua di
Kalimantan Timur. Pada dasawarsa tahun 2000-an, perkembangan peningkatan
produksi batubara di Kota Samarinda semakin meningkat. Sehingga Samarinda juga
dikenal dengan sebutan kota tambang karena hampir 38.814 ha (54%) dari total
71.823 ha luas kota Samarinda merupakan areal tambang batubara. Pertambangan
batubara yang sudah berproduksi dengan rincian 38 KP (Kuasa Pertambangan) yang
mendapat ijin dari wali kota samarinda dan 5 (lima) PKP2B2 (Perusahaan Pemegang
Perjanjian Karya perjanjian usaha Pertambangan) dengan izin pemerintah pusat.
(kompas 30 mei 2009) yang belum beroperasi. Belum lagi ada puluhan
tambang-tambang illegal yang banyak dikelola pengusaha dan masyarakat. Bahkan
sekarang kegiatan pertambangan ini telah merambah kawasan lindung maupun
perkotaan. Hal ini diketahui setelah adanya bukti-bukti bahwa kawasan hutan
raya bukit suharto telah dirambah pertambangan batubara dan penambangan illegal
yang dikenal dengan batubara karungan yang banyak terdapat di kawasan
perumahan-perumahan penduduk di kota Samarinda makin memperparah kondisi
lingkungan kota Samarinda.
Izin
Investasi pertambangan batubara yang dikeluarkan begitu mudah, tentu
dikawatirkan akan mengabaikan tuntutan perlindungan lingkungan dan konflik yang
disebabkan oleh kegiatan pertambangan yang semata-mata berorintasi ekonomi,
yaitu bagaimana memperoleh keuntungan yang besar dari ekspoitasi, semantara
aspek lingkungan dan sosial dipinggirkan. Pada hal pertimbangan lingkungan,
sosial dan ekonomi dalam aktivitas pertambangan harus menjadi satu kesatuaan
yang tidak terpisahkan.
Walaupun
semenjak adanya pertambangan batubara ini peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) kota sangat terasa dan devisa negara semakin meningkat namun dampak
lingkungan dari kegiatan penambangan batubara yang semakin banyak tersebut juga
cukup meresahkan bagi masyarakat Samarinda. Dampak lingkungan ini antara lain
adalah erosi dan banjir dan pencemaran udara,air dan tanah. Indikator kerusakan
lingkungan yang semakin parah tersebut bisa dilihat dari DAS Sungai Karang
Mumus yang semakin berkurang kawasan hutannya akibat pembukaan pertambangan
yang berakibat dampak dari erosi semakin tinggi mengakibatkan sungai karang
mumus semakin dangkal sehingga daya tampung airnya pun semakin berkurang.
Hampir kerap terjadi bila hujan dengan intensitas kecil -sedang bisa
mengakibatkan beberapa daerah tergenang oleh banjir. Bahkan data Selama tiga
bulan terakhir saja sejak November dan Desember 2008 serta Januari
2009–Samarinda lima kali didera banjir cukup besar menyebabkan puluhan ribu
warga menjadi korban akibat rumahnya terendam air antara 30 Cm sampai satu
meter., padahal awal tahun 90 – 2000, tiap tahun hanya 1 - 2x banjir melanda
kota Samarinda.
Dampak
perubahan iklim pun juga dirasakan pada saat ini, akibat konversi hutan menjadi
pertambangan menjadikan suhu kota Samarinda naik hampir 1,5 digit, Belum dampak
turunan dari banjir dan perubahan iklim tersebut yaitu banyak penyakit-penyakit
seperti muntahber, ISPA, Kulit dan lain-lain yang semakin sering diderita warga
Samarinda.
Dan dampak
yang dirasakan langsung oleh warga Samarinda akibat pertambangan batubara ialah
dampak polusi udara dari kegiatan konstruksi dan operasi serta banyaknya truk-truk
pengangkut batubara yang menggunakan jalan-jalan umum kota Samarinda, selain
mengakibatkan polusi juga menimbulkan kerusakan jalan.
Menyadari
bahwa permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang demikian kompleks,
diperlukan kebijakan dan strategi untuk meningkatkan penanganan terpadu dengan
melibatkan stakeholders dan instansi teknis terkait bersama-sama untuk
mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan lingkungan tersebut.
Permasalahan
pokoknya lainnya ialah, bagaimana mengolah dan mengelola SDA dengan bijaksana
agar sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang didasari oleh laporan
Our Common Future (Masa Depan Bersama) yang disiapkan oleh World Commision on
Environment and Development,1987) yaitu pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi akan datang
untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Tindakan
pengelolaan pertambangan batubara berkelanjutan yang tepat perlu dilaksanakan
dengan memperhitungkan : 1. Segi keterbatasan jumlah dan kualitas sumber
batubara, 2. Lokasi pertambangan batubara serta pengaruhnya terhadap
pertumbuhan masyarakat dan pembangunan daerah, 3. Daya dukung lingkungan dan 4.
Dampak lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat akibat usaha pertambangan
batubara.
Dari skor
keberlanjutannya, untuk dimensi sosial dan lingkungan masih dibawah skor
keberlanjutan, untuk dimensi ekonomi di atas skor keberlanjutan. Dilihat di
lapangan, memang dapat dikatakan dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan
pertambangan batubara sudah sangat mengkuatirkan walaupun PAD dan ekonomi
masyarakat sekitar tambang ada peningkata. Namun bila diukur dari analisis
prospektifnya dapat disimpulkan bahwa kegiatan pertambangan batubara lebih
banyak merugikan baik materi maupun non materi masyarakat Samarinda umumnya
dari kerusakan lingkungan seperti banjir, polusi udara, air dan tanah.
Sumber :
Google.com
0 komentar:
Posting Komentar